Kamis, 28 Mei 2009
Berebut Kekuasaan
“jangan ikut berebut kekuasaan agar orang tetap percaya pada perjuangan kader PKS terutama di daerah2.”
Demikian bunyi salah satu isi ‘Buku Tamu’ di blog ini atas nama umar assidiq yang saya baca pagi ini (28/5).
Kesan yang langsung timbul dari ‘membaca’ pesan diatas adalah ‘rasa heran’. Kenapa?
Pertama, perlu difahami bahwa da’wah bertujuan untuk melakukan ‘perubahan’ ke arah yang lebih baik.
Kedua, perubahan tidak akan mungkin bila dilakukan tanpa ‘kemampuan’. Itulah kenapa hadits Nabi menyuruh kita untuk merubah kemunkaran prioritas pertama adalah ‘biyadihi’ (dengan ‘kekuasaan’). Karena diam adalah ad’aful iman. Selemah-lemahnya iman.
Ketiga, semakin besar perubahan yang kita ingin lakukan maka semakin besar ‘kemampuan’ yang dibutuhkan. Dan misi Islam adalah ‘rahmatan lil alamin’ (melakukan perubahan di dunia ini) bukan sekedar merubah individu walaupun individu adalah tangga pertama dalam perubahan dunia. Tapi tidak boleh berhenti hanya disitu.
Keempat, di pihak lain ada kelompok dzolim yang tidak akan setuju atau tidak mau terhadap ‘perubahan’ yang hendak kita lakukan dan mereka tidak akan membiarkan begitu saja kita melakukan perubahan. Mereka akan mencegah, melawan, dan mempertahankan ‘status quo’ kedzoliman. Dua pihak yang berbeda ini akan tetap terjadi hingga akhir zaman. Keduanya akan saling berebut dominasi.
Oleh karenanya kita baca sejarah Nabi dan pengikutnya penuh dengan ‘perebutan’ kekuasaan. Ibrohim vs Namrud. Tholut vs Jalut. Musa vs Firaun. Nabi Muhammad saw juga harus ‘berebut kekuasaan’ dengan kafir qurays dalam berbagai episode peperangan. Assiro’ bainal haq wal bathil akan terus terjadi hingga kiamat. Tinggal medan dan bentuknya yang mungkin berbeda, tidak melulu ‘fisik’ tapi bisa ‘politik’. Apakah berarti Nabi salah dengan terjun dalam ‘perebutan kekuasaan’? apakah tidak sebaliknya, orang-orang yang diam atau lari dari ‘medan perebutan kekuasan’ perlu dipertanyakan ‘ghiroh’ din-nya.
Intinya adalah tidak akan mungkin terjadi kedzoliman menyerahkan begitu saja ‘kekuasaan’ yang mereka kuasai. Itu semua harus melalui episode ‘perebutan’. Jadi kalau dikatakan ‘jangan berebut kekuasaan’ itu adalah kalimat yang bias. Maksudnya apa? Kita serahkan orang-orang dzolim mengatur ‘kehidupan rakyat ini’? dan disisi lain biarkan orang-orang baik cukup tinggal di masjid-masjid, sibuk dzikir dan ta’lim saja, tidak usah ikut ‘mengatur’ kehidupan berbangsa dan bernegara? Biarkan politisi korup yang menguasai negeri ini? Mau???
Yang salah bukan pada kalimat ‘berebut kekuasaan’ tapi pada strategi yang ‘menghalalkan segala cara’ dan penyalahgunaan kekuasaan untuk mendzolimi rakyatnya. Tapi kalau strategi yang dipakai tidak ada yang melanggar kaedah syar’i dan kekuasaan yang diperoleh digunakan untuk sebesar-besar kemaslahatan rakyat maka ‘berebut kekuasaan’ yang seperti itu yang akan menuai ridho ilahi. Insya Allah surga menanti di negeri abadi.
"Sehari seorang raja (penguasa) yang bertindak adil,lebih besar pahalanya daripada seorag ahli ibadah yang beribadah selama 60 tahun." [HR Ahmad]
----
sumber: pkspiyungan.blogspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar