Jumat, 29 Mei 2009

Bayanat DPP PKS Tentang Pilpres 2009


BAYANAT
NOMOR : 01/B/K/DPP-PKS/VI/1430
TENTANG
PILPRES 2009



1. Sidang Majelis Syuro PKS ke XI pada tanggal 25-26 April 2009 memutuskan :
a. Untuk berkoalisi dengan SBY dan Partai Demokrat dalam Pilpres 2009, APABILA kontrak politik dapat disepakati bersama
b. PKS Memperjuangkan Cawapres dari Internal dalam amplop tertutup, namun cawapres bukanlah merupakan syarat koalisi.
c. Jika syarat minimal koalisi (termasuk kerjasama berbasis platform dalam kabinet dan parlemen) tidak dipenuhi secara proporsional maka DPTP berhak mengambil kebijakan sesuai dengan kemaslahatan dakwah,umat, bangsa, dan Negara.

2. Kesalahpahaman sebelumnya terjadi karena tersumbatnya komunikasi dengan SBY paska pemberitahuan bahwa SBY memilih Boediono sebagai Cawapres. Sementara kita mengusulkan adanya keterwakilan umat.

3. Hasil pertemuan PKS dengan SBY pada tanggal 15 Mei 2009 di Bandung telah diklarifikasinya isu-isu seputar Boediono dan disepakatinya kontrak politik dengan SBY dan Partai Demokrat. Kontrak Politik berlandaskan platform terlampir.

4. Terkait pribadi Prof. Boediono, beliau adalah seorang muslim dan tidak berpandangan Neolib, bahkan Undang-Undang Perbankan Syari’ah dan Undang-undang Sukuk (Obligasi Syari’ah) digulirkan semasa ybs menjabat Menko Ekuin.

5. Atas dasar keputusan Majelis Syuro PKS ke XI, dan tercapainya kesepakatan dengan SBY dan PD, maka diwajibkan kepada seluruh kader memperjuangkan kemenangan pasangan SBY-Boediono untuk kemaslahatan dakwah,ummat, bangsa, dan Negara.



Jakarta, 1 Jumadil Akhir 1430 H
25 Mei 2009 M

PRESIDEN
IR. TIFATUL SEMBIRING

Kamis, 28 Mei 2009

Berebut Kekuasaan


“jangan ikut berebut kekuasaan agar orang tetap percaya pada perjuangan kader PKS terutama di daerah2.”

Demikian bunyi salah satu isi ‘Buku Tamu’ di blog ini atas nama umar assidiq yang saya baca pagi ini (28/5).

Kesan yang langsung timbul dari ‘membaca’ pesan diatas adalah ‘rasa heran’. Kenapa?

Pertama, perlu difahami bahwa da’wah bertujuan untuk melakukan ‘perubahan’ ke arah yang lebih baik.

Kedua, perubahan tidak akan mungkin bila dilakukan tanpa ‘kemampuan’. Itulah kenapa hadits Nabi menyuruh kita untuk merubah kemunkaran prioritas pertama adalah ‘biyadihi’ (dengan ‘kekuasaan’). Karena diam adalah ad’aful iman. Selemah-lemahnya iman.

Ketiga, semakin besar perubahan yang kita ingin lakukan maka semakin besar ‘kemampuan’ yang dibutuhkan. Dan misi Islam adalah ‘rahmatan lil alamin’ (melakukan perubahan di dunia ini) bukan sekedar merubah individu walaupun individu adalah tangga pertama dalam perubahan dunia. Tapi tidak boleh berhenti hanya disitu.

Keempat, di pihak lain ada kelompok dzolim yang tidak akan setuju atau tidak mau terhadap ‘perubahan’ yang hendak kita lakukan dan mereka tidak akan membiarkan begitu saja kita melakukan perubahan. Mereka akan mencegah, melawan, dan mempertahankan ‘status quo’ kedzoliman. Dua pihak yang berbeda ini akan tetap terjadi hingga akhir zaman. Keduanya akan saling berebut dominasi.

Oleh karenanya kita baca sejarah Nabi dan pengikutnya penuh dengan ‘perebutan’ kekuasaan. Ibrohim vs Namrud. Tholut vs Jalut. Musa vs Firaun. Nabi Muhammad saw juga harus ‘berebut kekuasaan’ dengan kafir qurays dalam berbagai episode peperangan. Assiro’ bainal haq wal bathil akan terus terjadi hingga kiamat. Tinggal medan dan bentuknya yang mungkin berbeda, tidak melulu ‘fisik’ tapi bisa ‘politik’. Apakah berarti Nabi salah dengan terjun dalam ‘perebutan kekuasaan’? apakah tidak sebaliknya, orang-orang yang diam atau lari dari ‘medan perebutan kekuasan’ perlu dipertanyakan ‘ghiroh’ din-nya.

Intinya adalah tidak akan mungkin terjadi kedzoliman menyerahkan begitu saja ‘kekuasaan’ yang mereka kuasai. Itu semua harus melalui episode ‘perebutan’. Jadi kalau dikatakan ‘jangan berebut kekuasaan’ itu adalah kalimat yang bias. Maksudnya apa? Kita serahkan orang-orang dzolim mengatur ‘kehidupan rakyat ini’? dan disisi lain biarkan orang-orang baik cukup tinggal di masjid-masjid, sibuk dzikir dan ta’lim saja, tidak usah ikut ‘mengatur’ kehidupan berbangsa dan bernegara? Biarkan politisi korup yang menguasai negeri ini? Mau???

Yang salah bukan pada kalimat ‘berebut kekuasaan’ tapi pada strategi yang ‘menghalalkan segala cara’ dan penyalahgunaan kekuasaan untuk mendzolimi rakyatnya. Tapi kalau strategi yang dipakai tidak ada yang melanggar kaedah syar’i dan kekuasaan yang diperoleh digunakan untuk sebesar-besar kemaslahatan rakyat maka ‘berebut kekuasaan’ yang seperti itu yang akan menuai ridho ilahi. Insya Allah surga menanti di negeri abadi.

"Sehari seorang raja (penguasa) yang bertindak adil,lebih besar pahalanya daripada seorag ahli ibadah yang beribadah selama 60 tahun." [HR Ahmad]

----
sumber: pkspiyungan.blogspot.com

Rabu, 27 Mei 2009

Mengukur harga diri da'wah kita dalam PILPRES ini




catatan: Kami dapat tulisan ini dari kiriman email pandu langsa. Ada beberapa yang kami edit. Memang agak terlambat, sudah seminggu lebih, namun tetap hangat untuk para kader PKS.
---

Oleh Syukri Wahid [Ketua DPD PKS Balikpapan]
Assalamu alaikum wr wb
Ikhwah fillah, sekarang saya tidak sedang menulis sebuah puisi, namun ini adalah refleksi jiwa dan pikiran saya dan tulisan ini sekedar untuk turut berpartisipasi pikiran dalam menjelaskan apa yang sedang terjadi disekitar dunia da’wah, lebih khusus lagi adalah “ijtihad siyasi” partai kita.

Beberapa “kader” atau simpatisan sms ke saya atau menelpon, bahwa kurang sreg dengan “kelakuan” beberapa ustad kita, seperti ustad Fahri dan ust Anis, yang menurutnya terlalu menggebu-gebu dan terlalu merendahkan harga diri. Spontan kita ada yang mengatakan “demi harga diri kita, sudahlah tinggalkan SBY”, masih ada calon yang lain, yang lebih islami (setidaknya itu yang kelihatan dari simbol calon yang lain). Kemudian muncul beberapa gangguan ketsiqohan kita terhadap kebijakan para Qiyadah dan personal qiyadahnya. Latar belakang itulah yang mendorong saya untuk sedikit menuangkan “kegelisahan” didalam jiwa.

Maka ijinkan dari penjelasan singkat ini saya sampaikan, sebagai bagian dari cara memandang ijtihad dan ini bukanlah bayanat dari partai.

a. Karena kita ber “musyawarah”
Sebenarnya jika kita sederhanakan persoalan ini, maka apa yang membuat kita mengeluarkan kebijakan ini, maka jawabannya karena kita bermusyawarah atau syura’. Maka itu sudah cukup bagi kita yang ingin menegakkan prinsip kehidupan berjama’ah.

Arah koalisi sudah sesuai dengan keputusan Musyawarah Majlis Syuro XI PKS, sedang para asatidz yang duduk di Majlis Syuro adalah “penjelmaan” semua kader. Karena tidak mungkin semua kader rapat bersamaan disatu tempat. Bayangkan saja 1 juta kader rapat kayak apa tuh jadinya rapat. Mungkin malah tidak efektif. Maka disitulah kita menyerahkan kewajiban musyawarah kolektif kita kepada musyawarah perwakilan, yang istilah syariat “ahlu halli wal ‘aqdi”. Jadi kita semua telah menjalankan kewajiban musyawarah dengan cara “menitip” kewajiban kita tersebut kepada “wakil” kita yang bersuara di forum tersebut. Kalau dari kaltim (1 suara) adalah beliau fadhilatul ustadz Hadi Mulyadi. Mereka adalah orang yang kita pilih secara sadar karena pertimbangan- pertimbangan kualitas mereka, jumlahnya sekitar 90an orang.

Sekarang, mungkinkah para asatidz kita dalam musyawarah itu bersepakat untuk menjerusmuskan kita dalam kebathilan? mungkinkah para asatidz kita juga sepakat untuk bermaksiat dalam politik? Mengeluarkan kebijakan tanpa pertimbangan demi maslahat da’wah? Semua yang keluar pasti melewati kaidah-kaidah syariat yang ketat dan panjang.

Setidaknya yang saya sampaikan disini adalah salah satu prinsip musyarokah tersebut adalah “muhtamal roojih fauzuhuu” mengutamakan siapa yang lebih kuat peluangnya untuk menang. Kenapa harus memilih yang menang? karena memang kita pada posisi “harus memilih”. Dan yang kedua, kalau berada di pusat kekuasaan dan melakukan kebaikan didalamnya lebih utama dari pada 5 tahun kita tidak berpartisipasi untuk ummat ini. Karena kita 8 persen, maka kita harus “sadar” mencari peluang untuk masuk ke pusat kekuasaan.

Menebar keadilan melalui kompetensi kepemimpinan itu jauh lebih berharga. “Sehari kehidupan pemimpin atau penguasa yang adil lebih baik daripada ibadah seorang ‘abid selama 60 tahun” demikian hadits nabi. Para generasi salaf mengatakan, “jika kami para ulama memiliki satu doa yang pasti dijawab oleh Allah SWT, maka kami akan meminta pemimpin yang Adil”. Jadi berada di pusat kekuasaan lebih afdhal ikhwah fillah. Sebagaimana Allah SWT menceritakan “kebijakan” politik da’wah Nabiullah Yusuf as.

Nabi Yusuf as, melakukan musyarokah dengan raja Aziz di Mesir. Jangan lihat “tidak islaminya” raja Aziz saat itu, istrinya aja menggoda nabi Yusuf as. Namun lihatlah “kerajaan” yang telah memasukannya kedalam penjara tidak menyebabkan dendam dan bahkan beliau turut berpartisipasi dalam menyelamatkan Negara dan rakyat dari krisis pangan (ekonomi) berkepanjangan. Jadi berbuat kebaikan lebih diutamakan dalam semua kesempatan. Bukankah Nabi Yusuf ngotot minta jabatan “perdana menteri & keuangan” (coba lihat kisahnya di surat yusuf). Bukti bahwa telah terjadi bargaining politik antara Raja dan Yusuf as.

b. Harga diri kita sesungguhnya ada disini
Mungkin ada diantara kita yang mengatakan, wah segitukah kualitasnya harga diri partai Islam terbaik di Indonesia? Akhirnya mau juga, setelah ngotot-ngotot… setidaknya itu salah satu sms yang saya terima dari seseorang. Saya terfokus dengan kalimat harga diri. Lantas ada apa dengan harga diri kita? Apakah jatuh? Apakah hina? Apa itu semua yang antum rasakan???. Saya justru merasa bangga dan memiliki ‘izzah harga diri partai kita mulia, Allahumma amiin. Kenapa ikhwahfillah?

1. Membangun “izzah politik juga bagian dari ‘izzah da’wah
Ustad Fahri Hamsah, Ust Mahfudz siddiq dan ust Anis Matta, mengkritik pola interaksi komunikasi SBY atau Demokrat yang tidak elegan dan selalu bersifat satu arah dalam forum komunikasi koalisi, dan ini memberikan efek “pelecehan” hak dan institusi politik kita, tidak dianggaplah bahasa kasarnya.

Ikhwah fillah, saat Nabi Yusuf as didalam penjara, ketika ada dua pidana yang sedang menunggu hasil vonis Negara dan tinggal bersama satu sel dengan Nabi Yusuf, terjadilah interaksi da’wah disana. Suatu saat mereka berdua bermimpi, kemudian mereka ceritakan mimpinya itu kepada Nabi Yusuf as. Dijelaskan oleh Yusuf as tentang makna dari ta’wil mimipinya dan benar terjadi sesuai “ramalan” Nabi Yusuf atas dua orang tersebut. Maka sampailah informasi ini kepada sang raja, kemudian sang raja “mengutus” beberapa negosiator untuk menghadap Nabi Yusuf perihal mimpi sang raja. Nabi yusuf as menyampaikan minta rajamu ketemu denganku. Dan itulah yang terjadi bertemunya beliau dengan sang Raja dengan kedudukan yang sama secara politik. Dan disitu juga sudah ada “take and give” antara raja dan Nabi Yusuf as.

Bukankah itu adalah karena sebuah harga diri. Saya berpendapat, bahwa lebih tepat “kemarahan” ustad-ustad kita adalah bagian dari hisbah atau kontrol “da’wah” kepada SBY dan PD. Pesan yang ingin kita sampaikan adalah, “jangan seperti itulah pola komunikasi anda!”.

Hari kamis DPP “menolak” utusan SBY di gedung DPP (Hadi P, Sudi S dan Hatta Rajasa). Disinilah kita menghormati harga diri partai kita, “bilang sama SBY, kami ingin ketemu langsung”, kalau tidak yah cukup sampai disini. Ini setidaknya yang saya tangkap, pesan harga diri kita. Dan bisa antum bayangkan esoknya Jum’at jam 5 sore, SBY langsung datang menemui para ustad kita di Bandung.

Ikhwah fillah, coba renungkanlah, kita cuma 8 % suara dan 10 % kursi, itu kecil secara kekuatan politik, namun apa yang bisa kita lakukan ikhwah fillah? seorang “SBY” harus DATANG ke PKS. Bukankan itu adalah bukti harga diri kita begitu tinggi. Didalam “siasat perundingan”, pihak yang datang dan yang mendatangi juga bagian dari kemenangan politik. Pesan yang ingin kita bangun adalah jangan samakan PKS dengan yang lain, partai lain mungkin cukup mengirim utusan, dijelaskan kemudian kasih jatah menteri, selesai masalah. PKS tidak seperti itu. Tidak sesederhana itu kita berkoalisi, ini bukan masalah kita dapat apa dan SBY dapat apa dari kita. SBY lah yang “mengalah” ikhwah fillah, karena cuma PKS yang perlu dia datangi dan menjelaskannya langsung atas permintaan kita, tanpa perantara. Sedangkan untuk PAN cukup menurunkan Anas dan akhirnya SB mau menandatanganinya. Walaupun Amin Rais menolak cawapresnya, namun apakah SBY perlu mendatangi Amin Rais? Muhaimin Iskandar juga demikian, senyumannya sudah meperlihatkan kursi menteri yang bakal PKB dapat.

Lantas kenapa kita merasa dilecehkan harga diri partai? Fakta-fakta diatas justru membuktikan bahwa dimata SBY dan PD, kita adalah kekuatan. Itu yang harus kita lihat. Itu baru 8%. Itulah yang terjadi di perjanjian Hudaibiyyah, ada pertemuan sejajar dan dua arah antara Quraisy Makkah dengan Muhammad SAW.

2. Jika kita telah ber’azam
Terus ada sms masuk ke HP saya, “kenapa petinggi PKS datang ke acara deklarasi di Bandung. Kenapa tidak seperti partai lain saja, kirim wakilnya sajalah”.

Ikhwah fillah, tidak ada yang menjadi sorotan dalam acara malam itu, melainkan semua mata menuju PKS. Bahkan salah satu pembawa acara televis mengatakan, seolah-olah gedung ini adalah acaranya PKS. Kenapa ikhwah fillah? Seminggu lalu media menyoroti PKS yang terkesan menyerang SBY dan koalisi, namun malam itu hadir ustad Hilmi (ketua Majlis syura), pak Tifatul dan Anis matta. Itu adalah representasi utuh PKS. Mereka disambut dengan “senyuman” dan tepukan “kehormatan”, karena memang kita layak mendapatkannya.

Apa hikmah untuk SBY dan PD malam itu? “wahai SBY dan PD, anda melihat kami yang garang mengkritisi dasar koalisi kita, namun harga diri kami mengatakan, jika kami sudah mendukung, maka luar dan dalam kami menerima semuanya, semua akan all out memenangkan anda”.

Begitulah Islam mengajarkan, kalau sudah muswawarah, maka berazam dan bertawakkal. Begitu terhormatnya kita secara institusi dihadapan mereka, ini baru koalisi yang berkualitas. Ada beberapa partai yang sekjennya yang datang, bahkan menghadiri juga deklarasi pasangan yang lain. Apakah itu harga sebuah harga diri? Justru dimata SBY dan PD mereka dianggap “tidak punya” komitmen dan harga diri dijual ke semua pasangan.

3. Melatih ketaatan dan ketsiqohan
Jangankan kita, para sahabat yang mulia pernah mengalamai erosi ketsiqohan terhadap kebijakan Rasulullah saw di perjanjian Hudaibiyyah. Umar bin Khattab secara emosi selama tiga hari bahkan dalam riwayat mengkritisi kebijakan Rasul, sampai keluar statmen “bukankah engkau Rasul?”, kenapa harus menghinakan diri kepada mereka???!!! sambil menyodorkan naskah perjanjian Hudaibiyah yang 4 butir. Menurut Umar “tidak” tepat semuanya. Kenapa engkau menerima poin yang mengatakan “jika ada penduduk Makkah yang pindah dan bergabung ke Madinah, maka dia harus dipulangkan ke Makkah kembali, namun jika dari Madinah ke Makkah, maka dia tidak boleh dikembalikan”?

Dengan kedalaman analisa politik Rasulullah SAW, Syaikh Munir Ghadban (dalam bukunya ‘Manhaj Haroki’) menjelaskan, “Apakah dengan poin itu akan ada dari kalangan para sahabat yang telah beriman kepada Rasulullah SAW di Madinah akan memilih kekufuran? dan dia akan bergabung ke Makkah? Mungkinkah itu akan terjadi bagi orang yang telah beriman? Itu tidak akan terjadi. Lantas kenapa engkau marah? Sebaliknya justru poin ini akan mempermalukan Quraisy, karena justru banyak yang ingin kepada keimanan menuju Madinah. Artinya itu akan mencitrakan buruk secara politis, ternyata mereka tidak solid.

Insya Allah kebijakan koalisi ini terbaik menurut hasil ijtihad masyayikh kita. Jangan ragu apa lagi sampai hengkang, na’udzubillah min dzaalik. Jadi ikhwah fillah, mari kita kembali mengedapankan “tsiqoh ilal qiyadah wal qororoot”. Karena bagaimana jika posisi para qiyadah itu kita yang gantikan, kira-kira apa yang akan kita lakukan?.

4. SBY akan mengedepankan “system presidensial”, posisi wapres murni sebagi pembantu dan dalam beberapa hal sesuai komitmennya, wapres hanya akan menjadi ban serep saja. Jika kita menganut prinsip amal yang berkualitas, maka salah satu faktornya adalah “pengaruh amal” kepada orang sebanyak-banyaknya. Karena itu antum pilih mana, wapres tapi menteri dikit, atau menteri banyak tanpa wapres. Tidak ada kepwapres (surat keputusan wapres), yang ada cuma keppres (keputusan presdien) dan juga kepmen (keputusan menteri). Jadi apalah artinya satu wapres kedepan “yang hanya” berfungsi sebagai ban serep. Lebih baik menteri yang banyak, terutama kementerian departemen yang pengaruhnya ke orang banyak, contoh mentan, betapa kebhijakannya dirasakan orang banyak.

Jadi saya berpendapat untuk saat ini lebih baik kita mengambil menteri yang banyak, karena disanalah lebih riil kontribusi kita terhadap rakyat. Koalisi Islam dan nasionalis tidak terjadi di formulasi Capres dan Cawapres, namun terjadi di koalisi cabinet. Jadi kabinet kedepan “Islam-Nasionalis” akan terbentuk: PKS, PAN, PPP dan PKB akan memberikan kadernya untuk menteri.

Wallahu a'lam

Senin, 18 Mei, 2009, 6:31 AM
Balikpapan, gang Depag

----
sumber: pkspiyungan.blogspot.com

Selasa, 19 Mei 2009

Koalisi Permanen HNW-Diana


Kelahiran anak kembar mereka yang keenam dan ketujuh semakin mengokohkan koalisi permanen Hidayat Nur Wahid dan Diana Abbas Thalib.

Di tengah ramainya bursa pencalonan capres-cawapres 2009, berita gembira datang dari pasangan Hidayat Nur Wahid (HNW) dan dr. Diana Abbas Thalib. Pertengahan bulan lalu, mereka semakin mengokohkan koalisi mereka dengan istilah koalisi permanen. Seperti apa?

Saling Mendukung Meski Sama-sama Sibuk
Pasangan HNW-Diana rupanya sedang berbahagia setelah dikaruniai dua jagoan cilik, Daffa Muhammad Hidayat dan Daffi Muhammad Hidayat. Sesaat setelah si kembar melihat dunia, Hidayat langsung membisikkan adzan di telinga mereka.

Ketika menjalani pemeriksaan janin pada minggu ke-32 di RSPI, diketahui bahwa kondisi kehamilan dr. Diana kurang baik. Dokter pun lantas memutuskan melakukan terminasi (pengakhiran kehamilan). Tim dokter memutuskan agar Diana segera menjalani operasi caesar. Selama proses melahirkan, Hidayat dengan setia terus mendampingi sang istri. Sementara kelima anak dan keluarga menunggu di luar kamar operasi. Lahirlah dua bayi kembar itu pada Rabu (15/4) lalu pukul 22.17. Hidayat-Diana merasa amat bersyukur karena kedua anaknya selamat.

Menurut Hidayat, peristiwa ini adalah suatu perjuangan, baginya dan istri. Hidayat masih harus mengurus masalah umat dan di sisi lain juga tak henti memberi dorongan kepada sang istri. Beliau menyempatkan diri untuk datang tiap hari ke rumah sakit. Dokter Diana pun merasakan hal yang sama. Saat aktivitasnya harus dikurangi karena kehamilan, beliau hanya mampu mendukung Hidayat dengan doa dan meng-update berita terkini. Untuk sementara, tugasnya menemani Hidayat menghadiri acara-acara tidak dapat dilakukannya.

Selama masa kehamilan, dr. Diana juga berjuang mengatasi efek hormonial. Beliau menuturkan, begitu banyak gangguan kesehatan yang dialaminya. Diana mengalami flek atau semacam pendarahan pada rahim. Jika tidak dijaga, amat rentan keguguran. Asam lambungnya juga kerap meningkat hingga ke tenggorok. Tak urung Diana kerap batuk. Tekanan darahnya juga naik. Begitu pula penimbunan cairan tubuhnya. Juga gatal-gatal hebat di tubuhnya.

''Pokoknya, saya mengalami gangguan yang jarang dialami wanita saat hamil. Mungkin karena faktor usia,'' ungkap wanita campuran Pasuruan-Pekalongan itu. Dia bersyukur karena tidak sempat ngidam macam-macam. ''Cuma pengin rujak sama es serut aja. Nggak ngidam aneh-aneh,'' imbuhnya. Alhamdulillah, semua keluhan selama masa kehamilan tersebut hilang setelah melahirkan.

Koalisi Permanen karena Cinta
Diana begitu takjub sekaligus merasa bersyukur bisa dikaruniai dua anak lagi. Hidayat dan Diana menikah pada 10 Mei 2008 lalu. Sebelumnya, pasangan Hidayat-Diana sudah memiliki lima anak. Hidayat memiliki empat anak dari perkawinan pertama. Diana mempunyai satu anak dari perkawinan pertamanya juga. Karena itu, begitu tahu dirinya positif hamil ketika Idul Fitri 2008 lalu, Diana begitu terkejut. ''Saya dan Bapak (Hidayat, Red) terkejut. Lalu, kami sujud syukur,'' ujarnya.

Dari tujuh anak yang mereka miliki sekarang, setiap anak memiliki level aktivitas yang berbeda-beda. Hidayat-Diana harus pintar-pintar memanaje waktu dan rumah tangga untuk menyikapi perbedaan tersebut. Mereka mengaku bahwa semua masih dalam proses adaptasi. “Kami selalu berdoa semoga diberikan keberkahan rezeki, keberkahan waktu agar bisa digunakan semaksimal mungkin,” ujar Diana.

Mengenai ramainya pembicaraan koalisi antarpartai yang kini terjadi, Hidayat berkelakar, “Lebih baik koalisi yang ini, karena ini koalisi permanen. Tidak akan terpisah karena landasannya adalah cinta.”

(Indah, dari berbagai sumber)
Sumber:eramuslim.com

Senin, 18 Mei 2009

Membaca Langkah 'Membingungkan' PKS Akhir-akhir ini



by ADMIN
---
“…wa amruhum syuro bainahum. Faidza azamta fatawakkal allallah..”

Beberapa hari dalam pekan ini media massa menyoroti hiruk pikuk arah koalisi parpol dalam pilpres yang akan digelar 8 Juli 2009. PKS sebagai partai nomor empat dengan perolehan suara 7,88 % melalui Musyawarah Majlis Syuro (MMS) XI 25-26 April 2009 telah memutuskan berkoalisi dengan SBY Demokrat. Namun, pemilihan Boediono (Gubernur Bank Indonesia) sebagai cawapres SBY yang diputuskan sepihak (tanpa melibatkan partai koalisi) telah menimbulkan arus pro-kontra yang hebat. PKS mempermasahlan dua poin: pertama, tidak dilibatkannya partai mitra koalisi dalam pengambilan keputusan yang penting (pemilihan cawapres). Kedua, pola komunikasi yang searah dan terkesan arogan dari pihak SBY dan Partai Demokrat .

Melalui pertemuan-pertemuan maraton antara PKS dan kubu SBY akhirnya PKS memutuskan untuk tetap melanjutkan koalisi dan mendukung pasangan SBY-Boediono. Mencermati arah koalisi PKS yang akhirnya mantab mendukung duet SBY Berbudi (slogan pasangan SBY-Boediono) ada beberapa catatan ‘versi pribadi’ yang bisa saya kemukakan:

PERTAMA: PKS tidak akan sembrono, ngawur, serampangan dalam membuat sebuah keputusan yang amat sangat penting menyangkut nasib bangsa lima tahun kedepan. Oleh karenanya, sebelum akhirnya memutuskan berkoalisi dengan SBY-Boediono, PKS (melalui para qiyadahnya) berupaya mengumpulkan informasi yang lengkap, komprehensif, valid dan aktual dari sumber pertama. Itu yang kita baca dari pertemuan intensif antara PKS dengan tiga utusan SBY (Hadi Utomo Ketum PD, Hatta Rajasa orang kepercayaan SBY, dan Sudi Silahi sekretaris kabinet) yang berlangsung Kamis malam (14/5). Tidak cukup data dari 3 utusan, PKS yang diwakili Hilmi Aminuddin Ketua Majlis Syuro, Tifatul Sembirng Presiden PKS dan Anis Matta Sekjen PKS bertemu langsung dengan SBY dan Boediono selama dua jam sebelum deklarasi SBY-Boediono.

Langkah qiyadah PKS ini yang membedakan dengan kita-kita. Kalau para qiyadah akan menimbang segala sesuatu dengan matang, rasional dan komprehensif, kalau kita kadang (atau sering) hanya emosional dan parsial dalam ‘melihat’ permasalahan.

Jauh sebelum memasuki Pemilu 2009, Anis Matta sang idiolog PKS sudah membingkai cara berfikir kita tentang Syuro dan kaedah-kaedahnya. Keputusan yang baik adalah keputusan yang lahir dari syuro.Jika kita berbicara tentang bagaimana menghasilkan sebuah keputusan syuro yang bermutu, sesungguhnya kita berbicara tentang bagaimana mengoptimalkan syuro, tegas Anis Matta. Syuro akan optimal dan menghasilkan keputusan yang bisa dipertanggungjawabkan apabila:

Pertama, tersedianya sumber-sumber informasi yang cukup untuk menjamin bahwa keputusan yang kita ambil dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sumber-sumber informasi itu dapat berupa sumber intelijen, pelaku peristiwa, pengamat atau pakar suatu masalah. Fakta yang akurat disertai analisis yang tepat akan memudahkan kita menyusun rencana keputusan, baik dengan pendekatan syariat maupun pendekatan dakwah. Jadi, informasi yang akurat berkorelasi positif dan kuat dengan keputusan yang tepat. Kaidah ushul fiqh mengatakan, hukum yang kita berlakukan atas sesuatu merupakan bagian dari persepsi kita tentang sesuatu itu.

Kedua, tingkat kedalaman ilmu pengetahuan yang relatif yang harus dimiliki setiap peserta syuro. Karena, kedalaman itulah yang menentukan mutu analisis, pikiran, dan gagasan yang diutarakan oleh setiap peserta syuro. Itulah sebabnya para ulama menjadikan ilmu pengetahuan sebagai salah satu syarat pada mereka yang akan diangkat menjadi anggota syuro. Sebab, itulah yang menjadikan seseorang menjadi layak untuk dimintai pendapat dalam berbagai masalah.
Selain kedalaman ilmu pengetahuan, ada faktor lain yang terkait dengan syarat ilmu.Yaitu, dominasi akal atas emosi (rajahatul ‘aql) serta sikap rasional yang konsisten. Faktor ini sangat menentukan karena inilah yang menjamin bahwa sikap-sikap emosional dan temperamental yang sebagian besarnya kontraproduktif tidak akan terjadi dalam syuro. Selama syuro merupakan proses ijtihad jama’i, maka syarat kedalaman ilmu pengetahuan merupakan keniscayaan yang menentukan mutu hasil syuro.

Ketiga, adanya tradisi ilmiah dalam perbedaan pendapat yang menjamin keragaman pendapat yang terjadi dalam syuro terkelola dengan baik. Dan pendapat-pendapat itu secara intens mengalami seleksi, penyaringan, serta integrasi yang ilmiah. Kemudian melahirkan sebuah keputusan bermutu. Keragaman yang terkelola dengan cara seperti itu niscaya akan melahirkan pikiran-pikiran baru yang biasanya sulit dibayangkan dapat lahir dari seorang individu.

Demikian urai Anis Matta dalam bukunya 'Menikmati Demokrasi'.

KEDUA: PKS dengan manuver (sebelumnya) ‘mempermasalahkan’ pemilihan Boediono sebagai cawapres SBY dimaknai sebagai upaya PKS untuk membenahi dan meluruskan ‘etika berkoalisi’ yang mulai diselewengkan oleh pihak Demokrat. Bahwa sebuah tujuan bersama tidak akan tercapai tanpa kerjasama, dan kerjasama tidak akan terwujud tanpa kesadaran bersama, dan kesadaran bersama mustahil ada manakala tidak ada tradisi syuro dalam mengambil sebuah kebijakan yang menyangkut ‘hajat hidup bangsa’.

PKS ingin menyadarkan SBY dan Demokrat bahwa koalisi bukan dibangun atas dasar bagi-bagi kursi, tapi koalisi yang solid bisa terwujud manakala ada kebersamaan. Kebersamaan dalam merancang, kebersamaan dalam melangkah dan kebersamaan dalam mempertanggungjawabkan hasil. Tidak ada yang bisa jalan sendiri. Pemimpin koalisi memang SBY dan Demokrat, tapi partai mitra koalisi tidak boleh diperlakukan seperti pelayan yang hanya sendiko dawuh tanpa dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Maka sebelum koalisi berjalan lima tahun kedepan, persoalan ‘dasar’ ini harus disadari bersama dan berkomitmen untuk berpegang teguh dengan prinsip-prinsip syuro dalam koalisi.

Melalui pertemuan ustadz Hilmi dengan SBY sebelum deklarasi di Hotel Sheraton, Bandung, SBY (dan PKS) sepakat mendasarkan koalisi pada prinsip kebersamaan dan kesetaraan, dengan komunikasi yang positif dan konstruktif.

KETIGA: PKS menyadari bahwa kekuatannya saat ini bukan sebagai leader. Namun, dukungan rakyat 7,88 % hasil 'jihad siyasi' segenap kader dan simpatisan PKS seluruh pelosok tanah air dan luar negeri tidak boleh 'disia-siakan'. Suara 7,88 % ini harus dioptimalkan untuk menebar kemaslahatan di bumi pertiwi ini dengan masuk menjadi bagian kekuasaan dan terlibat dalam perumusan dan pengambilan kebijakan yang pro-rakyat. Tidak selayaknya PKS menyia-nyiakan potensinya hanya untuk sekedar ‘pandai berteriak’ mempermasalahkan masalah (maksudnya jadi oposisi). Mempermasalahkan masalah itu mudah dan pekerjaan orang kalah, tapi yang lebih penting adalah peran untuk menawarkan solusi atas masalah bangsa yang ada. Dan rakyat (baca umat) membutuhkan uluran tangan para kader-kader PKS untuk mengentaskan problematika mereka.

Ketika Nabi saw baru datang ke kota Madinah, beliau langsung memberikan arahan solusi dengan sabdanya… “Wahai manusia, sebarkanlah salam, hubungkan silaturahim, berikan makanan, dan shalat malamlah ketika orang-orang sama tidur. Itu semua akan memasukkan kalian ke dalam sorga dengan selamat”. (Hadits Shahih diriwayatkan oleh Turmudzi).

Dalam pertemuan PKS dengan SBY sebelum deklarasi telah disepakati dan ditandatangani Kontrak Politik berupa 10 agenda prioritas pembangunan berasas kedaulatan negara dan berorientasi kemakmuran rakyat.

Oleh karenanya, sebagai kader jadilah kita part of solution bukan part of problem. Slogan ‘Al Islam huwal hal’ (Islam adalah solusi) saatnya untuk kita implemestasikan dalam dunia nyata ruang-ruang publik. Tidak sekedar enak didengar, lantang disuarakan.

Terakhir, ketika pimpinan tertinggi PKS sudah membuat sebuah keputusan maka riak-riak perbedaan kita tutup rapat dalam buku memori kita. Saatnya beramal bukan berdebat!

“Waquli’maluu fasayarallahu amalakum warasuluhu wal mu’minunn…”

Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. [at-taubah 105]

Jogjakarta, 16 Mei 2009

Alfaqir ila robbihi
Sumber:pkspiyungan.blogspot.com

Jumat, 15 Mei 2009

SBY Tak Seperti Dulu Lagi?


Susilo Bambang Yudhoyono. Itulah nama yang selalu menjadi perhatian bangsa kita saat ini. Apalagi sebagian besar bangsa Indonesia kini masih menunggu siapa yang akan diumumkan sebagai pendampingnya dalam Pilpres 2009 ini.

SBY dulu kita kenal sebagai sosok yang ramah, santun, dan penuh kehati-hatian. Hal inilah yang membuat masyarakat Indonesia sangat mengidolakan sosok Presiden RI ke-6 ini. Seorang jenderal yang juga memegang gelar doktor.

Namun, sejak keluarnya hasil quick count hasil pemilu dari berbagai lembaga survei yang menyatakan Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu Legislatif, terjadi perubahan besar pada sikapnya.

Orang yang dulu sangat ramah kini terkesan jadi sangat kelewat percaya diri dengan kemampuan partainya untuk memenangkan Pemilu Presiden 2009 ini. Hal ini sudah terlihat pada saat penampilan beliau pertama kali di media masa untuk mengomentari perolehan suara Partai Demokrat dalam Pileg 2009.

Tak ayal lagi, parpol-parpol yang sudah menyatakan dukungannya sejak awal mulai berpikir ulang tentang rencana koalisi untuk Pilpres 2009. Saat ini tinggal PKB yang masih menyatakan akan meneruskan koalisi tersebut. PAN, yang mesti akhirnya mendukung SBY kemungkinan besar juga akan menarik dukungannya.

Moh Sofan, peneliti politik dari Yayasan Paramadina bahkan mengatakan sikap SBY itu merupakan tamparan politik di muka Amien Rais, yang selama ini menggadang-gadang dukungan PAN kepada SBY. Apa boleh buat, keputusan SBY untuk tetap mengambil Boediono sebagai cawapres membuat pak Amin menarik dukungannya kepada

SBY.
Namun, meski sejumlah parpol ber rencana akan meninggalkan Demokrat dalam pilpres mendatang, partai pendukung SBY itu tidak sedikit pun dibuat gentar. Sebaliknya, Demokrat malah menjadi semakin pede untuk tetap mengusung SBY-Boediono.

Demokrat bahkan merasa dengan mengusung pasangan itu masih yakin tetap menang. Syarifudin Hasan mengatakan, “Kan perolehan suara Demokrat cukup. Jadi kalau Demokrat sendirian pun masih cukup untuk mengusung SBY, dan masih dapat memenangkan Pilpres2009.”

Jika kita simak ucapannya, secara sekilas mungkin tidak masalah. Namun kalau kita telaah lebih jauh, ini merupakan ungkapan yang sangat arogan dari seorang Ketua DPP PD.

Indonesia membutuhkan pemimpin-pemimpin yang cepat dan tegas dalam mengambil keputusan dan berani melakukan terobosan-terobosan dalam memperbaiki bangsa ini ke depan. Juga hal yang tidak kalah pentingnya adalah Indonesia membutuhkan pemimpin yang jujur, berakhlak baik, antikorupsi, sopan, santun, dan ramah. Jadi, tidaklah bijak kalau SBY menanggalkan hal ini semua.


Hamzah Etnur
hamzah128@gmail.com
sumber:inilah.com