Oleh: Anugrah Roby Syahputra
Jika mendengar nama Partai Keadilan Sejahtera (PKS) disebut, kita akan langsung terbayang pada sosok anak-anak muda berjenggot rapi dan kaum perempuan berbusana rapi dengan jilbab besar yang rajin berdemonstrasi. Ya, partai yang cikal bakalnya disebut Ali Said Damanik (Fenomena Partai Keadilan, 2002) berakar dari Gerakan Tarbiyah yang marak di kampus-kampus pada dekade 80-an itu kini melaksanakan Musyawarah Wilayah ke-2 untuk wilayah Sumatera Utara yang berlangsung di Medan pada tanggal 7-10 Oktober 2010. Ini merupakan momentum yang tepat untuk merumuskan perbaikan bagi tanah bertuah yang berbudi luhur ini.
Banyak hal yang telah ditorehkan oleh partai berlambang dua bulan sabit kembar mengapit padi ini. Sejak awal mula pendiriannya saja, partai yang dulunya bernama Partai Keadilan (PK) ini telah mencengangkan publik Indonesia. Deklarasi pendiriannya di halaman Masjid Al-Azhar, Jakarta dihadiri lima puluh ribu kader. Ini mengagetkan banyak pihak bagaimana mungkin sebuah partai baru bisa menghadirkan massa sebanyak itu. Terlebih lagi setelah mengetahui hasil Pemilu 1999 di mana PK berhasil merebut 7 kursi DPR RI, 26 kursi DPRD Propinisi, 163 kursi DPRD Kabupaten/Kota dan 1,4 juta suara pemilih atau 1,6 % dukungan rakyat. Ini sebuah debut perdana yang mengagumkan. Cuma PK satu-satunya partai baru yang bisa mendapat raihan suara sebanyak itu.
Lalu keajaiban kembali terjadi di 2004. Electoral treshold yang saat itu menjegal banyak kekuatan politik reformasi, tidak menjadi penghalang bagi partai dakwah ini untuk terus bekerja. Mereka memilih baju baru PKS untuk mewarisi dan melanjutkan cita-cita perjuangan PK. Dan hasilnya PKS (bersama Partai Demokrat) menjadi rising star dalam percaturan politik nasional. Capaian suaranya melejit tajam hingga 7,34% (8.325.020) dari jumlah total pemilih dan mendapatkan 45 kursi dari total 550 kursi di DPR. Sementara di Pemilu 2009 sebenarnya PKS mengalami “kekalahan” di beberapa kota besar yang menjadi basis mereka seperti Jakarta, Bandung dan Medan setelah disapu oleh tsunami iklan SBY dan Demokrat, meskipun syukurnya PKS bisa melakukan ekstensifikasi konstituen yang kini semakin melebar tidak hanya di wilayah urban.
Namun, hal yang amat patut diapresiasi adalah semangat PKS yang tak pernah pupus untuk berbuat kebaikan bagi bangsa. Program-program sosial mereka tetap dijalankan, meski tidak diekspos besar-besaran oleh media massa. Dalam penanggulangan bencana, PKS tetap menurukan relawan dan bantuan dana yang tidak pernah sedikit. Termasuk ketika membantu korban musibah gempa Sumatera Barat, Situ Gintung, dan banjir di beberapa daerah. Aksi-aksi solidaritas tetap mereka jalankan meskipun sering difitnah menjadikan kepedihan saudara sendiri di Palestina sebagai komoditas politik. Tulus atau tidak, sedikitnya sudah lebih dari 22 milyar rupiah yang berhasil dihimpun dan disalurkan PKS untuk perjuangan kemerdekaan dan misi kemanusiaan di bumi Al-Quds sana. Begitu pula para anggota legislatifnya yang sampai saat ini Insya Allah masih amanah dan tetap menolak budaya suap walaupun tak jarang dicemooh sebagai orang munafik. Seperti yang dilansir berbagai media, PKS masih tetap menjadi partai terdepan dalam perlawanan terhadap kultur koruptif di pemerintahan. Hal ini dibuktikan dengan data KPK yang menunjukkan bahwa PKS adalah partai yang paling tinggi angka pengembalian gratifikasinya dan tingkat kepatuhan dalam melaporkan kekayaan.
Di samping itu, sejauh ini partai yang kini dipimpin Luthfi Hassan Ishak itu mau tak mau harus diakui telah berhasil melakukan strategi political marketing yang jitu. Terbukti slogan Bersih, Peduli dan Profesional yang didengung-dengungkan telah melekat di benak masyarakat. Hal ini bukanlah semata karena faktor keunggulan konsultan politik sebagaimana yang dilakoni parpol lain, melainkan lebih disebabkan oleh kesantunan sikap berpolitiknya yang tetap mengedepankan prilaku jujur dan bersih, kepekaan pengurus dan kadernya terhadap masalah sosial dan isu-isu kerakyatan serta keberhasilan kader-kadernya yang didaulat menjadi pejabat publik. Kementerian Pertanian yang telah dua kabinet dipegang oleh kader PKS misalnya telah mencatatkan prestasi memperoleh swasembada pangan. Selain itu, kader PKS yang menjad kepala daerah pun juga tak kalah prestasinya. Misalnya, Nurmahmudi Ismail yang mendapat amanah sebagai walikota Depok mendapatkan penghargaan dari KPK sebagai kota yang paling bersih dan tranparan proses pengadaan barang dan jasanya.
Membaca Jalan Moderat PKS
Sejak Mukernasnya pada 2008 di Denpasar, wacana perubahan PKS menjadi partai terbuka menggema di mana-mana. Partai yang selama ini dicap ekslusif ini menyatakan kesiapannya untuk membersamai seluruh komponen bangsa tanpa membeda-bedakan latar belakang suku, agama dan ras. Apalagi setelah Munas ke-2 PKS di Hotel Ritz Carlton, Jakarta yang semakin meneguhkan komitmen mereka menghargai pluralitas dan kebhinekaan Indonesia dengan mengundang tokoh-tokoh Amerika dan negara Eropa untuk duduk bersama membincangkan masa depan bangsa. Hal tersebut, ungkap J. Kristiadi, menunjukkan bahwa PKS adalah partai yang percaya diri dan bukan harus inferior terhadap negara adidaya. Ditambah lagi iklan-iklan yang menampilkan sosok-sosok beragam mulai dari kyai sampai anak punk, mulai dari Natsir sampai Soekarno dengan merahnya yang menyala. Barangkali pencitraan keberagaman yang ditampilkan tersebut adalah dalam kerangka mewujudkan visi dan misi PKS sebagai “Partai Dakwah Penegak Keadilan dan Kesejahteraan dalam Bingkai Persatuan Ummat dan Bangsa” sebagaimana tercantum dalam AD/ART partai. Partai ini kemudian ingin bisa dikategorikan sebagai kelompok “moderat” (Collins, 2004; ICG, 2005), dalam pengertian menerima demokrasi dan bekerja dalam kerangka konstitusional dan non-kekerasan demi memperoleh simpati masyarakat. Sebab, beberapa waktu sebelumnya, santer tuduhan bahwa PKS membawa hidden agenda untuk menegakkan negara Islam yang dikhawatirkan sebagian kalangan akan merugikan kelompok minoritas. Kekhawatiran itu setidaknya terungkap dalam buku Ilusi Negara Islam yang diterbitkan oleh Ma’arif Institute dan LibforAll Foundation. PKS mendapat fitnahan keji sebagai agen kelompok transnasional garis keras yang akan merongrong kedaulatan NKRI. Begitupun, rakyat jualah yang akan menilai siapa yang santun dan siapa yang bersikap kasar layaknya teroris.
PKS dan Harapan yang Tersisa
Jujur saja, mungkin polah politik otoriter orde baru yang koruptif telah membuat sebagian besar masyarakat republik ini mengimani kepercayaan Machiavelli bahwa politik itu kotor. Wajar saja kalau kepercayaan rakyat terhadap parpol rendah. Hal itu tercermin dari semakin rendahnya tingkat partisipasi pemilih di berbagai Pemilu dan Pilkada. Hingga kemudian datang PKS yang menggabungkan dua unsur kebaikan: semangat anak muda (hamasatusy-syabab) dan kebijaksanaan para ulama (hikmatusy-syuyukh). Inilah jawaban akan penantian masyarakat akan perbaikan negeri ini. Satu-satunya harapan yang masih tersisa setelah berbagai perilaku amoral dipertontonkan oleh pejabat pemerintahan dan kader partai lain. Maka, sisa harap itu tertumpu di pundak PKS yang menasbihkan diri sebagai agent of change.
Oleh karenanya, PKS tak boleh membuat rakyat kecewa. PKS harus terus berikhtiar untuk kebaikan Indonesia. Dan, tentunya partai ini bukanlah kumpulan malaikat tanpa noda dan dosa. Ada beberapa hal yang perlu dibenahi dalam tubuh partai ini. Pertama, menjaga orisinalitas (ashalah) gerakan. Menjadi partai terbuka memanglah tuntutan konstitusi dan agama. Sebab ini adalah sarana untuk menyebarkan kebaikan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Namun yang harus digarisbawahi adalah jangan sampai karena kepentingan taktis seperti ini PKS kehilangan ruhnya sebagai sebuah gerakan dakwah. Core aktivitasnya sebagai pemikul amanah dakwah tak boleh terlupakan. Para pemimpinnya juga harus mengingat bahwa PKS bukanlah partai yang besar karena popularitas atau kharisma pemimpinnya, namun ia besar karena loyalitas dan militansi kadernya yang terbangun dari proses kaderisasi yang matang. Itulah mengapa aspek pembinaan internal dengan mensolidkan struktur dan terus-menerus meng-up-grade kader menjadi prioritas penting.
Kedua, memelihara keteladanan tokoh dan kader. Kasus yang menimpa Misbakhun sudah semestinya menjadi pelajaran bagi pengurus PKS. Meski aleg PKS tersebut belum terbukti bersalah, namun tak pelak kejadian itu telah mencoreng nama baik PKS yang telah lama dibangun. Ibarat kata pepatah, gara-gara nila setitik rusak susu sebelanga. Profil kader PKS yang kokoh dan mandiri, dinamiis dan kreatif, spesialis dan berwawasan global dan lainnya itu haruslah terejawantahkan dalam laku sehari-hari kadernya sehingga kalau bisa akan terbit lagi seri-seri berikutnya dari buku Bukan di Negeri Dongeng (Kisah Para Pejuang Keadilan). Karena rakyat kita merindukan sosok yang sederhana dan bersahaja layaknya KH Rahmat Abdullah atau DR. Hidayat Nur Wahid yang bisa mereka teladani, yang sama antara tutur dan lakunya.
Ketiga, mengeluarkan kebijakan dan sikap politik yang populis. Sejarah adalah guru yang paling jujur. Maka PKS wajib bercermin pada gonjang-ganjing akibat iklan Soeharto dan tokoh-tokoh ormas Islam yang dicatut. PKS juga harus mengevaluasi statement kontroversial yang sering disampaikan oleh kadernya seperti Fahri Hamzah dan Anis Matta. Tak ada salahnya memang melakukan manuver politik. Apalagi untuk sebuah strategi agar dapat menjadi headline media massa. Namun ijtihad itu perlu dikaji ulang jika kemudian justru menimbulkan keresahan di masyarakat atau bahkan tubuh internal partai sendiri. Ada baiknya PKS berhati-hati dalam menyampaikan sikap politik ini khususnya yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak semisal harga BMM dan tarif dasar listrik.
Termasuk bagaimana PKS harus mencari posisi aman atas dua tuntutan kelompok yang berseberangan: pendukung formalisasi syariat Islam yang kaffah dan pembela kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia yang berideologi liberal bahkan cenderung fobia terhadap Islam. Untuk hal ini, PKS dapat belajar dari merosotnya suara PAS di Malaysia setelah mereka mengeluarkan buku yang berjudul Negara Islam, sebuah buku yang secara tegas memuat platform dan visi PAS untuk menerapkan Islam dalam hukum positif di negara jiran itu. Sebaliknya, partai AKP di Turki bisa menggapai kemenangan besar di sana dan menguasai 100% kabinet pemerintahan dengan “perngorbanan” merelakan sebagian nilai-nilai sekuler tetap bersemi dan saling berebut posisi dengan nilai Islam di tengah masyarakatnya.
Keempat, menyiapkan SDM yang mumpuni untuk mengelola negara. Sudah bukan rahasia lagi kalau PKS dihuni oleh kader-kader muda yang berpendidikan dan punya latar belakang sebagai aktivis mahasiswa di kampusnya. Ini membuat idealisme dan cita-cita mereka menemukan muara yang tepat. Hal seperti inilah yang perlu terus dimatangkan oleh PKS agar ketika kelak masyarakat memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada PKS, tidak ada lagi keterkejutan. Mengelola negara bukanlah pekerjaan sepele yang semudah membalikkan telapak tangan. Sebab untuk menyusun kembali puing reruntuhan yang terserak ini tak cuma dibutuhkan orang shalih dan jujur, namun juga harus cakap dan kapabel.
Akhirnya, kita harus terus berikhtiar, berdo’a dan memupuk harapan itu agar mindset masyarakat tak lagi berbunyi, “Ah, buat apa nyontreng, siapapun yang terpilih, tetap juganya awak hidup susah.” Alangkah indahnya kalau kemudian yang terdengar dari mereka adalah optimisme menyongsong kebangkitan kembali kejayaan zamrud khatulistiwa ini bersama PKS. Semoga.
*Tulisan ini memenangkan Juara Pertama dalam Lomba Penulisan Opini Muswil ke-2 PKS Sumut 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar