Rabu, 27 Januari 2010

Bukan di Republik Mimpi



“Politik itu kotor,” kata mantan Presiden Ceko, Vaclav Havel. Dan,” Puisi yang membersihkannya,” ujar Danarto dalam salah satu puisinya. Bahkan Syeikh Muhammad Abduh, ulama Mesir itu sampai harus berdo’a: “Aku berlindung kepada Allah dari masalah politik, dari orang yang menekuni dunia politik dan orang yang terlibat urusan politik, dari orang yang mengatur politik dan yang diatur politik.”

Menyaksikan kelakuan politisi di Pansus Century yang ugal-ugalan membuat kita mau tak mau membenarkan keprihatinan tersebut. Ya, saya terpaksa memakai kosa kata ugal-ugalan yang biasanya disematkan pada pengemudi metromini, mikrolet atau angkot yang tak mau tertib: berhenti di sembarang tempat, menurunkan atau menaikkan penumpang di tengah jalan, dan saling kebut-kebutan untuk mendapatkan penumpang.

Mohon maaf kepada para wakil rakyat yang terhormat, wabil khusus kepada mereka yang kerap berkata tak sopan, berdebat dengan emosi, mencaci-maki dengan kata-kata kasar. Saya--sekali lagi terpaksa—mengatakan mereka ugal-ugalan. Mereka tak ubahnya para sopir angkot yang menghalalkan segala cara untuk mengejar setoran: saling sikut, saling maki, saling tuding, saling serang dan sebagainya.

Saya tak bisa membayangkan jika adegan yang disiarkan secara langsung oleh stasiun tv itu disaksikan oleh anak-anak kita. Selain mendapat kosakata baru yang tak pantas, anak-anak kita juga akan mendapat pelajaran perilaku baru: berkata kasar jika kelak menjadi anggota dewan.

Beruntung saya tak memiliki tv di rumah sehingga anak-anak saya terhindar dari budaya buruk tersebut. Dan kian beruntung manakala pekan lalu saya untuk kali pertama menginjakkan kaki di Bangka Barat, Bangka Belitung.

Di daerah Laskar Pelangi itu, bukan pemadangan pantai nan indah yang menbuat saya terkesan. Bukan pula gurih dan nikmatnya kerupuk Bangka. Tapi justru suguhan perilaku elok yang diberikan oleh seorang politisi yang kebetulan menjadi wakil bupati Bangka Barat. Namanya Ustadz Zuhri M Syadzali. Selama dua hari disana, potret buram para politisi di Jakarta seakan buyar, tak berbekas.

Saya-- yang mendampingi bos bertemu dengan Ustadz Zuhri-- dibuat tak percaya dengan apa yang saya dengar dan saksikan dengan mata kepala sendiri. Seolah-olah sedang berada di Republik Mimpi.

“Dia tak punya mobil dan rumah,” ujar bos kepada saya. Saya terkejut. Hampir lima tahun dia menjadi wakil bupati, tapi dua hal yang seharusnya dengan mudah ia gapai, justru tak dimilikinya. Yang ia “punya” hanyalah rumah dinas yang harus ia tinggalkan saat masa jabatannya berakhir.

Untuk mobil, Ustadz Zuhri memang “memiliki“ empat buah yang terparkir di garasinya. Tapi…tiga mobil dinas dan satu lagi mobil yang dihibahkan oleh bos saya.

Ia memang tak punya banyak uang untuk membeli itu semua. Uangnya banyak dikeluarkan untuk dakwah, melayani rakyatnya. Bahkan, hari-hari belakangan ini dia sedang bingung. Dirinya banyak diminta oleh berbagai lapisan masyarakat untuk menjadi orang nomor satu di Bangka Barat.

Sebuah survey bahkan menempatkannya sebagai tokoh yang memiliki tingkat popularitas dan elektabilitas tertinggi, jauh meninggalkan tokoh lainnya. Namun, ia tak mempunyai sumber dana yang memadai. Pundi-pundi uangnya sangat terbatas.

Yang membuat saya kian kagum adalah bagaimana cara ia berinteraksi dengan rakyat dan tamunya. Ketika saya tiba di kediaman dinasnya, waktu menunjukkan pukul 22.30 Wib. Ustadz Zuhri datang beberapa saat kemudian. Ia baru saja takziah ke salah seorang warganya di Jebus, satu jam perjalanan dari kediamannya. Bukan kali ini saja ia melakukannya. Setiap ada kesempatan, ia akan meluangkan waktu untuk melayat meski yang meninggal hanya orang biasa.

Usai itu, ia tak berisirahat karena langsung menjamu kami walau gari-garis kelelahan tampak jelas tergurat di wajahnya. Tak berapa lama, handphone nya berdering. Peneleponnya adalah salah seorang anggota dewan dari partai baru yang ingin berkunjung malam itu juga bersama temannya. Ustadz Zuhri tak menolaknya.

Apa yang saya lihat saat Ustadz Zuhri melayani tamunya? Ia menuangkan sendiri air ke dalam gelas dan memberikan kepada tamunya. “Wah, wakil bupati turun tangan langsung nih,” kata salah seorang tamu yang anggota dewan setempat. “Ini belum seberapa dibandingkan Umar bin Khathab yang memanggul gandum untuk rakyatnya,” jawab stafnya. Sang Ustadz hanya tersenyum.

Episode singkat kunjungan saya ke Bangka Barat menyisakan begitu banyak kenangan sekaligus menghapus memori buruk lakon ugal-ugalan yang dipertontonkan para politisi di Jakarta. Politik ternyata begitu indah, santun dan elok. Politik juga sarat nilai kasih sayang dan kemanusiaan serta jiwa melayani. Tak ada arogansi, tiada tembok pembatas antara pemimpin dan rakyatnya.

Berbanding terbalik dengan apa yang dipertunjukkan oleh sebagan besar politisi kita: angkuh, jumawa, sombong, keras kepala, bermental dilayani, dan sebagainya.

Politik itu, kata Harold Lasswell, mempunyai delapan nilai: 1)Kekuasaan; 2) pendidikan; 3)kekayaan (wealth); 4) kesehatan (well being); 5) ketrampilan (skill); 6) kasih sayang (affection); 7) kejujuran (rectitude) dan 8) keadilan (fairness).

Jadi, politik tak sesempit yang ada di benak para politisi kita: hanya sebatas mengejar kekuasaan. Who gets what, how dan when. Siapa dapat apa, bagaimana caranya dan kapan itu terjadi. Tapi juga sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Andai Vaclav Havel sempat berkunjung ke Bangka Barat, mungkin ia akan meralat ucapannya.

Politik bersih, indah dan santun,” ujarnya. Muhammad Abduh pun tentu saja tak perlu berdo’a agar dijauhkan dari politik. Termasuk Danarto yang akan mengubah kesimpulannya. Tak Cuma puisi, “Agama juga dapat membersihkan politik.” Ya, karena nilai-nilai Islam telah menjadi pegangan Ustadz Zuhri dalam menjalankan perannya sebagai manusia dan qiyadah. Wallahu a’lam bishshowab.

Tidak ada komentar: