Senin, 20 Desember 2010
Luaskan Bentangan Cakrawala Kepahamanmu
Oleh: Cahyadi Takariawan
Sungguh sangat ingin aku sampaikan pesan penting ini pertama kali: luaskan bentangan cakrawala kepahamanmu. Bergerak dalam dinamika dakwah adalah pergerakan yang berlandaskan kepahaman, berlandaskan hujah, berlandaskan ilmu dan pengetahuan. Tak ada keberhasilan dakwah, jika tidak diawali ilmu dan kepahaman. Tidak akan ada keteguhan di jalan dakwah, jika tidak memiliki cakrawala pengetahuan yang memadai.
Coba aku ajak membuat perbandingan. Saat anak masih kecil, ia hanya bermain di dalam rumah saja. Ia akan bertanya tentang benda-benda yang ada di dalam rumahnya sendiri. Dengan mudah orang tua menjawab dan menjelaskan, karena itu benda-benda yang sangat umum dan dikenalnya dengan baik. Bertambah usia, si anak mulai bermain di halaman rumah. Ia bertanya tentang benda-benda yang ada di halaman rumah. Orang tua dengan mantap menjawab semua pertanyaan anak.
Bertambah lagi usianya, anak bermain di lingkungan tetangga. Ia membawa pertanyaan seputar lingkungan sekitar, dan ada beberapa pertanyaan yang mulai sulit dijawab orang tuanya. Semakin besar anak, pergaulannya semakin luas, permainannya semakin jauh, tidak hanya di lingkungan tempat tinggal. Ia mulai bepergian ke luar kota, ia mulai mengenal beraneka ragam jenis manusia. Pertanyaan yang dibawa pulang semakin banyak yang dirasakan sulit oleh orang tuanya. Apalagi saat dewasa anak mulai mengenal manca negara, ia mengunjungi berbagai negara. Pergaulannya tanpa batas geografis, betapa luas pengetahuannya dan akhirnya semakin banyak pertanyaan tidak terjawab oleh orang tuanya yang belum pernah bepergian ke luar negeri.
Apa yang terjadi? Ada senjang informasi, ada senjang tsaqafah, ada senjang wawasan, ada senjang cakrawala pemikiran,antara anak dengan orang tua. Kesenjangan ini menyebabkan dialog sering tidak menyambung, atau dialog menjadi tidak seimbang. Anak berbicara tentang teknologi tinggi, yang tidak terbayang oleh orang tuanya yang gagap teknologi. Anak bercerita tentang pesawat terbang, sementara orang tuanya belum pernah melihat bentuk pesawat kecuali melalui gambar. Merasakan naik pesawat, berbeda dengan orang yang hanya mengerti gambar pesawat.
Bagaimana jika gambaran anak di atas adalah realitas pergerakan dakwah, yang tumbuh dari kecil membesar, dari segmen yang sempit ke segmen yang tak terbatas, dari tertutup menuju keterbukaan ? Sementara orang tua tersebut adalah kader dakwah yang stagnan. Kesenjangan informasi ternyata membahayakan.
“Sedang apa kau di sini ?” tanya sang ayah.
“Aku sedang bersiap untuk terbang ke London”, jawab sang anak.
“London itu apa ?” tanya ayah.
“London itu nama sebuah tempat di Eropa”, jawab sang anak.
“Apa engkau bisa terbang ?” tanya ayah.
“Aku naik pesawat terbang”, jawab sang anak.
“Mengapa kamu pergi ke London ? Pergilah ke sawah saja tempat biasanya kamu bermain-main”, pinta sang ayah sembari keheranan.
“Biasanya anakku bermain di sawah, mengapa sekarang ia mau bermain ke London?” pikir sang ayah.
“Apakah anakku sudah menjadi kafir dan ikut-ikutan gaya hidup orang Barat ?” pikir ayah.
Tentu saja, pikiran itu berlebihan. Ayah “berhenti” informasinya hanya di sekitar rumah, paling jauh ke pasar kecamatan atau kabupaten. Sementara si anak terus berkembang, ia melanglang buana mengelilingi dunia. Wawasannya terus bertambah, sementara si ayah wawasannya sudah selesai dan titik. Agar seimbang, si ayah harus mulai dikenalkan naik pesawat terbang dan mengunjungi berbagai pulau dan negara.
Bahkan, untuk sekedar mengerti sebuah kelucuan pun, memerlukan wawasan pengetahuan yang memadai. Seseorang tidak mengerti apa yang lucu sehingga tidak tertawa, pada saat orang lain merasa sangat lucu dan tertawa terbahak-bahak. Salah satunya, karena senjang informasi.
Ada tsaqafah maidaniyah, wawasan keilmuan yang terbentuk karena interaksi seseorang dengan realitas lapangan dakwah. Semakin luas pergaulan dan lapangan aktivitasnya, akan semakin banyak tsaqafah yang didapatkan. Jika aktivis “berhenti” mendapatkan asupan wawasan dan informasi lapangan, pastilah akan terbentuk persepsi puritan yang sering tidak “nyambung” dengan realitas lapangan.
Ini yang harus dijaga, secara pribadi maupun jama’i. Jangan berhenti mencari keluasan kepahaman, baik tekstual dari kitab, maupun kontekstual dari realitas lapangan. Teruslah berjalan meniti kepahaman. Teruslah merasa haus dan dahaga dari ilmu dan pengetahuan, sehingga tidak lelah untuk mencari dan mencari. Walau bis Sin, walau di negeri China, atau di negeri manapun.***
*sumber www.cahyadi-takariawan.web.id
Gonzales Tahajud
by: abuhasan
---
"Alhamdulillah bisa menang dan masuk ke final," ucap Gonzales usai pertandingan kepada para wartawan. (detik.com)
Spektakuler! ya, gol indah semata wayang yang dilesakkan Gonzales menit ke-42 ke gawang Pilipina pada semifinal AFF 2010, Minggu (19/12/10), telah mengantarkan timnas Indonesia melaju ke babak final.
Lebih berkesan lagi adalah ungkapan syukur dari seorang El Loco, seorang mualaf kelahiran Uruguay, atas nikmat gol dan nikmat menang yang dilimpahkan kepadanya. Alhamdulillah, ya, hanya Allahlah yang patut untuk dipuja dan dipuji atas keberlimpahan nikmat yang kita dapat.
"Ini gol saya persembahkan untuk rekan-rekan saya dan para suporter Indonesia. Kemenangan ini ada karena kerja keras tim," lanjut Gonzales.
Cristian Gonzales mengajarkan kepada kita (baca: jama'ah dakwah) bahwa kesuksesan akan didapat manakala syarat 'kerja keras' dan 'kolektifitas' (amal jama'i) sudah terwujud pada jamaah itu. Kerja keras setiap individu jamaah, masing-masing kader ikhwah mengeluarkan segenap potensinya, memahami peran dan memiliki ruhul masuliyah (rasa memiliki dan karenanya bertanggung jawab), dan semua kader berpartisipasi aktif berkontribusi dengan ikhlas, tenanan tidak manja, serius ora leda lede, totalitas tidak alakadarnya, dalam bingkai kerja jama'i. Sungguh kalau itu sudah ada di DPC anda, DPRa kita, maka masalah nasrumminallah hanyalah persoalan waktu.
Selain tipe pekerja keras, "El Loco" juga pemain dengan kepercayaan diri tinggi dan pantang menyerah. Bagaimana tidak, dalam 20 menit awal, Gonzales membuang tiga peluang emas. Seorang striker kacangan pasti mentalnya jatuh jika mengalami hal tersebut. Tapi, tidak Gonzales. Dengan kerja keras ia terus bersemangat. Tak pernah ada kata menyerah dalam kamusnya.
Begitu juga seorang ikhwah kader dakwah dalam melakukan aktifitas dakwah. Ketika seruannya tidak didengar, ditolak, mentok, belum banyak ada perubahan dari mad'u, masyarakat atau negara, dia tidak menyerah dan tinggalkan arena. Mencoba dan mencoba. Satu cara tidak berhasil, cari dan gunakan pendekatan lain. Variatif, inovatif dan kreatif.
Gonzales juga tipe pemain yang tidak mudah terprovokasi lawan. Bisa dilihat bagaimana setiap kali "El Loco" menguasai bola, dua hingga tiga pemain "The Azkals" langsung mengepungnya. Ia juga terus menerima provokasi dari pihak lawan. Namun, "El Loco" tak terpengaruh. Ia tetap fokus pada targetnya, menjebol gawang Filipina. Alhasil, kerja keras ini akhirnya terbayar melalui tendangan maut di menit ke-42.
Dalam dakwah kita sering mendapat tantangan maupun provokasi baik dari kalangan internal yang "kecewa" maupun dari pesaing yang khawatir kita berhasil dengan menebarkan opini menyudutkan. Kalau kita sudah yakin dengan jalan dakwah ini, maka fokus pada target dakwah, dan kalaupun ada yang "mengganjal" di hati atau pikiran segera tabayun dengan jajaran qiyadah, murobbi, naqib.
Kekuatan Do'a & Ibadah
"Tadi malam saya suami sekeluarga tahajud, berdoa semoga suami saya mencetak gol pada pertandingan nanti," tutur Eva Siregar istri Gonzales dalam sebuah tayangan infotainment di sebuah TV swasta usai pertandingan semifinal leg pertama.
Sungguh indah, manakala kita menyadari bahwa betapa lemahnya ikhtiar kita tanpa ditopang doa dan ibadah ekstra.
Kesuksesan Gonzales mencetak gol tak terlepas dari berkah shalat tahajud yang dilakukan sehari sebelum pertandingan krusial tersebut. Menurut Eva, striker berusia 34 tahun yang memutuskan masuk Islam pada 9 Oktober 2003 atau sejak menikah dengan Eva itu sangat taat beragama. Gonzales juga telah membangun sebuah masjid di wilayah Gresik.
"Sekarang, setiap main saya selalu ingatkan dia baca Al Fatihah. Lucu juga dengar logatnya. Saya juga yang ajarin dia shalat," tutur Eva saat ditemui di Hotel Sultan sebelum pertandingan.
Kalau Gonzales saja tahajud, tentu bagi kita para kader dakwah harus lebih rajin qiyamullail untuk membuka pintu-pintu kemenangan. Ditambah rajin puasa sunah, menghiasi lisan dengan dzikrullah, membiasakan tilawah Al-Quran 1 juz per hari, tidak melewatkan ma'tsurat, selalu sholat berjamaah di masjid, tidak lupa dhuha sebelum kerja, sunah rowatib juga tidak ditinggalkan.
"Dan pada sebahagian malam hari, sholat tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji." (17:79)
***
NB: Biro Perjalanan Haji Maktour memberikan hadiah Umrah gratis untuk Gonzales dan istrinya menyusul penampilan gemilang Gonzalez bersama skuad Merah Putih. Gonzalez pun sangat berterima kasih. Ia memang mengaku sudah sejak lama ingin menjalankan ibadah umroh. "Terima kasih, saya sangat senang karena memang ingin menjalankan itu," ujarnya dalam acara telewicara di salah satu stasiun televisi swasta beberapa waktu setelah mengantarkan timnas menang semifinal leg pertama.
sumber: pkspiyungan.blogspot.com
Jumat, 03 Desember 2010
Kecewa adalah Tanda Cinta
Oleh: Cahyadi Takariawan*
“Orang-orang partai politik itu mudah kecewa. Begitu keinginannya tidak terpenuhi, lalu keluar dari partainya dan membuat partai baru”, kata seorang teman kuliah di Lemhannas berapi-api. Aku hanya mengatakan, “Tergantung partainya, dan tergantung orangnya”. Dia terus saja mengomel tentang jeleknya orang-orang parpol, dan jawabanku pun tetap sama.
Ini soal perasaan kecewa. Sesungguhnyalah kecewa muncul karena adanya harapan yang tidak kesampaian. Ada harapan yang ditanam, dan ternyata tidak didapatkan dalam kenyataan. Inilah yang menyebabkan muncul kekecewaan. Jarak yang terbentang antara harapan dengan kenyataan itulah ukuran besarnya kekecewaan. Semakin lebar jarak yang terbentang, semakin besar pula kekecewaan. Oleh karena itu, kecewa itu ada di mana-mana, di lingkungan apa saja, di dunia mana saja, selalu ada kecewa.
Mari kita mulai dari yang paling kecil dan sederhana. Kadang kita kecewa dengan diri kita sendiri. “Mengapa saya tidak begini, mengapa saya tidak begitu”, adalah contoh kekecewaan yang kita alamatkan kepada keputusan kita sendiri yang telah terjadi. Kita menyesal di kemudian hari.
Dalam kehidupan rumah tangga yang isinya hanya dua orang saja, yaitu suami dan isteri, bisa muncul kekecewaan. Suami kecewa kepada isteri, dan isteri kecewa kepada suami. Hidup berdua saja bisa menimbulkan kecewa, apalagi kehidupan organisasi atau negara. Jika di dalam rumah tangga mulai ada anak-anak, kekecewaan bisa bertambah luas. Anak kecewa dengan sikap orang tuanya, dan orang tua kecewa dengan kelakuan anaknya. Satu anak dengan anak lainnya juga bisa saling kecewa mengecewakan.
Satu keluarga bisa kecewa atas perbuatan keluarga lainnya dalam sebuah lingkungan tempat tinggal. Satu desa bisa kecewa dengan desa lainnya dalam satu kecamatan. Indonesia sangat kecewa dengan sikap Amerika yang arogan, kecewa dengan sikap Israel yang merampas hak warga sipil Palestina secara semena-mena. Sebagaimana Amerika kecewa dengan Indonesia karena kurang akomodatif dengan kebijakan Amerika. Israel kecewa dengan Indonesia karena tidak mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
Jamaah sebuah masjid bisa kecewa dengan sikap imam masjid, sebagaimana imam masjid bisa kecewa dengan kondisi jamaah. Masyarakat gereja bisa kecewa terhadap pendeta sebagaimana pendeta bisa kecewa terhadap keadaan jemaatnya. Suporter sepak bola sering kecewa terhadap tim yang dibelanya, sebagaimana pemain sepak bola sering kecewa kepada sikap para suporter.
TNI bisa kecewa terhadap kebijakan dan sikap Polri sebagaimana Polri bisa kecewa terhadap TNI. Angkatan Darat bisa kecewa terhadap Angkatan Laut dan Udara, sebagaimana Angkatan Laut bisa kecewa terhadap Angkatan Darat dan Udara, atau Angkatan Udara kecewa terhadap Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Di Angkatan Darat, seorang komandan bisa kecewa terhadap anak buahnya, sebagaimana anak buah bisa kecewa kepada komandannya.
Dalam gerakan dakwah, seorang kader bisa kecewa kepada pemimpin, sebagaimana pemimpin bisa kecewa atas sikap para kader. Seorang kader PKS menyampaikan pesan lewat SMS kepada saya, yang isinya mengatakan sangat kecewa dengan PKS dan akan keluar serta bergabung dengan sebuah gerakan dakwah tertentu, sebut saja gerakan G. Saya menjawab dengan dua kali jawaban. Pertama, bahwa hak masuk dan keluar dari PKS adalah di tangan anda sendiri, tak ada yang boleh memaksa. Kedua, kalau anda keluar dari PKS karena kecewa dan akan bergabung dengan gerakan dakwah G, maka ketahuilah bahwa gerakan G itu juga pernah mengecewakan anggotanya. Ada banyak orang kecewa dari gerakan G dan berpindah ke gerakan yang lainnya. Di setiap gerakan dakwah, selalu ada orang yang kecewa dan meninggalkan gerakan dakwah itu. Selalu.
Sepanjang sejarah kemanusiaan paska masa kenabian, tidak ada satupun organisasi yang tidak pernah mengecewakan anggotanya. Semua organisasi, semua gerakan, semua harakah pernah mengecewakan anggotanya. Selalu ada anggota organisasi atau anggota gerakan yang kecewa dan terluka. Selalu.
Ini bukan soal benar atau salahnya kondisi tersebut. Ini hanya potret sesungguhnya, begitulah kenyataan yang ada. Cobalah sebut satu saja contoh organisasi, ormas, gerakan dakwah, instansi, atau apapun. Pasti ada riwayat pernah ada anggota atau pengurus yang kecewa. Kalau tidak ada yang pernah dikecewakan, berarti organisasi tersebut belum pernah beraktiviktas nyata.
Bahkan organisasi yang dibuat dari kumpulan orang kecewa, pasti pernah mengecewakan anggotanya pula. Misalnya sekelompok orang kecewa dengan kebijakan organisasi A, lalu mereka menyingkir dan berkumpul. Mereka bersepakat, “Kita berkumpul di sini karena dikecewakan para pemimpin kita. Sekarang kita himpun potensi kita, dan kita berjanji untuk tidak saling mengcewakan lagi. Jangan ada yang dikecewakan disini”. Tatkala mereka sudah eksis sebagai organisasi, maka pasti ada yang kecewa di antara mereka.
Mereka tidak tahu, bahwa kecewa itu tanda cinta. Kalau tidak cinta, tidak mungkin kecewa. Karena cinta, maka muncullah berbagai harapan kita. Setelah harapan tertanam, ternyata apa yang kita lihat dan kita alami tidak seperti yang diharapkan. Maka muncullah kecewa.
Mengapa beberapa orang parpol yang kecewa lalu membuat parpol baru lagi ? Karena boleh menurut Undang-undang. Coba kalau Undang-undang membolehkan membuat TNI baru, atau Polri baru, atau Mahkamah Agung baru, atau DPR baru, pasti sudah banyak orang membuat dari dulu. Banyak orang kecewa dengan TNI, banyak orang kecewa dengan Polri, banyak orang kecewa dengan Mahkamah Agung, banyak orang kecewa dengan DPR, banyak orang kecewa dengan Presiden dan Wakil Presiden, banyak orang kecewa dengan Menteri, banyak orang kecewa dengan Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Kepala Desa, Ketua RW atau Ketua RT.
Jadi, kecewa itu ada dimana-mana, karena cinta ada dimana-mana, karena harapan ada dimana-mana. Namun muncul pertanyaan, pantaskah kita tidak berani memiliki harapan karena takut dikecewakan ? Jawabannya jelas, tidak pantas !
Karena harapan itulah yang membuat kita bersemangat, karena harapan itulah yang membuat kita bekerja, karena harapan itulah yang membuat kita selalu berusaha melakukan dan memberikan yang terbaik, bahkan karena harapan itu pula yang membuat kita ada. Jangan takut memiliki harapan masuk surga. Jangan takut memiliki harapan Indonesia yang makmur dan sejahtera. Jangan takut memiliki harapan Indonesia menjadi negara paling adil dan paling maju di seluruh dunia.
So, teruslah memiliki dan memupuk harapan. Teruslah bekerja, teruslah berkarya, hingga akhir usia. Jangan takut kecewa.
Pancoran Barat 30 Nopember 2010
*sumber: http://cahyadi-takariawan.web.id/?p=519
*posted by: pkspiyungan.blogspot.com
Langganan:
Postingan (Atom)